Dalam buku Je M’appelle Lintang. Mba Ollie seolah sudah ‘menjanjikan’ bahwa novel ini bercerita tentang kisah cinta yang romantis. Dengan warna-warna lembut didominasi warna merah jambu dengan latar belakang Menara Eiffel semakin memperkuat keromantisannya.
Berawal di sebuah pesta pernikahan di Nembrala, NTT,
seorang pria berkebangsaan Perancis, Pierre, jatuh cinta pada gadis dari kota
itu, Lintang. Tapi, tentu saja, meskipun dua-duanya saling suka, tidak begitu
saja membuat hubungan percintaan mereka jadi lancar. Alasannya klise, latar
belakang budaya membuat orang tua Lintang melarang Pierre menjaling hubungan
dengan anak gadis mereka.
Perpisahan pun harus terjadi. Dua hati yang
berjauhan, saling merindukan. Dan membuat seorang Lintang nekat pergi ke kota
Paris demi mencari Pierre. Bermodalkan kemampuannya di bidang fashion design,
Lintang mencoba mendapatkan beasiswa untuk belajar di sekolah mode di Paris.
Beruntung akhirnya Lintang mendapatkan beasiswa itu.
Berada di kota yang sama dengan Pierre, ternyata
tidak langsung membuat mereka mudah untuk bertemu kembali. Dan di sini, nih,
‘greget’ dari novel ini, kebetulan-kebetulan yang terjadi yang sebetulnya
membuat Pierre dan Lintang sedikiiiittt lagi akan ketemu bisa membuat pembaca
‘menahan napas’ dan ‘merutuk’ kesal.
Lintang, ditemani oleh Jerry, sahabatnya dari satu
kota yang kebetulan juga pergi ke Paris, tanpa putus asa berusaha menelusuri
jejak Pierre.
Paris di musim gugur digambarkan begitu romantis.
Kota yang selalu disebut-sebut sebagai kota cinta bisa membuat pembaca ikut
terhanyut dalam cinta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar